“Belajarlah yang rajin, Nak…Ingat, tak lama lagi lho…”
Ayah mulai mengakhiri obrolan kami di halaman tempat tinggal baruku sore itu. Aku kembali ke kamar tepat di lantai tiga kemudian tersungkur di atas pembaringan baru. Dengan hati yang miris dan tubuh lemas, ku akhiri tangisku sore itu juga. Ya, layaknya anak kecil yang ditinggal ibunya pergi belanja, aku merengek manja sembari melepas kepulangan ayah ke rumah. Lantas, bagaimana denganku di sini, Ayah? Tanyaku dalam hati.
Sifat burukku memang sulit untuk dipudarkan, apalagi dimusnahkan. Manja.
Orang biasa mengataiku dengan kata tidak mengenakkan itu. Ah, mereka
terlalu berlebihan. Keluhku.
“Ayah, aku ini masih tergolong remaja kecil! Aku tidak mau jauh-jauhan seperti ini dari Ayah dan Ibu! Di sini banyak aturan, terlalu formal, berat untuk dilaksanakan dan susah untuk dilanggar! Menyebalkan!
Ya Tuhan, kehidupan seperti inikah yang Kau berikan untuk hambaMu? Hamba yang dulunya bersahabat dengan dunia dolan-dolan dan bersantai ria, kini harus membalikkan semuanya kedalam putaran sempurna 360 derajat? Oh Tuhan, berilah aku waktu untuk mengeluh lagi. Walau aku tahu Kau amat membenci perbuatan ini.”
Hingga akhirnya, tiba masaku untuk membelalak. Membuka mata lalu melihat sekelilingku. Mereka tak seperti aku. Ya, mereka lebih hebat dariku. Mereka tidak manja. Mereka tidak buta dengan kedewasaan. Mereka hebat.
Tuhan, ampuni aku. Terlampau sering aku mengeluh dalam kurun waktu dua hari di tempat tinggal baruku, hingga aku jenuh. Jenuh, jenuh dan amat jenuh.
Dan…
“Sudah sarapan, Nak ku sayang? Pake apa? Hayoo, telat shalat shubuh gak nih? Belajar yang bener ya.. Ingat, tak lama lagi lho…”
Ah ayah. Sms-nya bikin kangen rumah saja.
Pagi, siang, hingga menjelang maghrib. Pesan singkat dari ayah sengaja tak aku balas. Malas, takut kangen rumah.
Dan lagi…
“Nak, ayoo belajar. Ingat, tak lama lagi lho…”
Ada keganjalan dalam dimensi otak kananku tentang pesan singkat ayah selama aku berlabel mahasiswa baru. Ingat, tak lama lagi lho…
Rasa
penasaranku kian menjadi-jadi ketika ayah selalu menyisipkan kata-kata
misterius itu disetiap pesan singkatnya. Apa gerangan maksud ayah?“Ayah, aku ini masih tergolong remaja kecil! Aku tidak mau jauh-jauhan seperti ini dari Ayah dan Ibu! Di sini banyak aturan, terlalu formal, berat untuk dilaksanakan dan susah untuk dilanggar! Menyebalkan!
Ya Tuhan, kehidupan seperti inikah yang Kau berikan untuk hambaMu? Hamba yang dulunya bersahabat dengan dunia dolan-dolan dan bersantai ria, kini harus membalikkan semuanya kedalam putaran sempurna 360 derajat? Oh Tuhan, berilah aku waktu untuk mengeluh lagi. Walau aku tahu Kau amat membenci perbuatan ini.”
Hingga akhirnya, tiba masaku untuk membelalak. Membuka mata lalu melihat sekelilingku. Mereka tak seperti aku. Ya, mereka lebih hebat dariku. Mereka tidak manja. Mereka tidak buta dengan kedewasaan. Mereka hebat.
Tuhan, ampuni aku. Terlampau sering aku mengeluh dalam kurun waktu dua hari di tempat tinggal baruku, hingga aku jenuh. Jenuh, jenuh dan amat jenuh.
Dan…
“Sudah sarapan, Nak ku sayang? Pake apa? Hayoo, telat shalat shubuh gak nih? Belajar yang bener ya.. Ingat, tak lama lagi lho…”
Ah ayah. Sms-nya bikin kangen rumah saja.
Pagi, siang, hingga menjelang maghrib. Pesan singkat dari ayah sengaja tak aku balas. Malas, takut kangen rumah.
Dan lagi…
“Nak, ayoo belajar. Ingat, tak lama lagi lho…”
Ada keganjalan dalam dimensi otak kananku tentang pesan singkat ayah selama aku berlabel mahasiswa baru. Ingat, tak lama lagi lho…
Tanpa pikir panjang, aku segera menelepon ayah dan menanyakan kalimat misterius itu. Dengan nada lembut bak suara dzikir Ustadz Yusuf Mansur, ayahku menjawab:
“Kamu mau berjanji dulu dengan ayah, Nak?”
“Insya Allah, ayah. Apa ayah?”
“Ingat, tak lama lagi lho… umur ayah. Lakukanlah yang terbaik yang kamu bisa untuk ayah, Nak”.
Tuttutututut. Seketika itu sambungan telepon aku putus. Ayah… anakmu ini mengerti dengan ucapan pendekmu. Aku tahu, umur manusia tak ada yang tahu. Dan akupun tahu, ayah ingin hidup sama seperti Nabi Muhammad dalam kurun waktu sekitar 66 tahun. Ketika keinginan ayah berbalik dengan fakta, dan seperti apapun fakta itu bersemayam dalam diri ayah.. Itu berarti, memang tak lama lagi…
Yaa Rabb.. Yaa ‘Izzati..
Ampuni aku dengan ketidak sopananku dan dosa-dosaku selama ini kepada orang tuaku.
Ampuni aku dengan kemanjaanku yang selalu membuat risih mereka.
Ampuni aku dengan kelemahan imanku sehingga aku tak pernah menyadari tulusnya kasih sayang mereka.
Aku mau untuk tidak manja lagi.
Aku mau untuk tidak bermalas-malasan lagi.
Aku mau memperjuangkan masa depanku.
Karena “tak lama lagi…”
Rabbanaa aatinaa fiddunya hasanah, wa fil aakhirati hasanah, wa qinaa ‘adzabannar. Amiin.
No comments:
Post a Comment